Andai kesusahan adalah hujan dan kesenangan adalah matahari, maka kita butuh keduanya untuk bisa melihat pelangi.

Kamis, 07 Juli 2011

Hukum Merokok


Apa hukum merokok dan apa alasan-alasan untuk menetapkan hukum tersebut?
-Tohir, Jakarta


Menurut 'Abdullah bin Abdurrahman as-Sanad, dalam bukunya Nashiihah al-Insaan 'alaa Isti'maal ad-Dukhaan, rokok dikenal oleh bangsa Eropa sekitar tahun 915 H atau 1518 M, ketika sekelompok pakar mereka menemukan tumbuhan "aneh" di Tobaco (Meksiko). Benihnya mereka bawa pulang dan dari sana tersebar ke daerah-daerah lain, termasuk ke wilayah negeri-negeri Islam. Itu sebabnya tidak ditemukan pendapat ulama masa lalu tentang hukum merokok.

Namun, melalui pemahaman tentang muqaashid al-syarii'ah (tujuan agama) kita dapat mengetahui hukum merokok dan persoalan-persoalan "baru" lainnya. Tujuan tuntunan agama adalah memelihara lima hal pokok, yaitu ajaran agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setiap aktivitas yang menunjang salah satunya, pada prinsipnya dibenarkan atau ditoleransi Islam. Dan, sebaliknya pun demikian. Pembenaran itu bisa mengambil hukum wajib (jika tidak dilaksanakan berdosa), atau sunnah (dianjurkan, walaupun tidak berdosa bila diabaikan dan kalau dilaksanakan mendapat ganjaran), atau mubah (boleh, terserah pilihan masing-masing pribadi, tiada dosa dan tiada pahala). Sedangkan tingkat larangan ada dua: makruh (dianjurkan untuk dihindari dan ketika itu yang bersangkutan memperoleh ganjaran, tetapi jika dikerjakan tidak berdosa), dan haram (harus dihindari, dan kalau tidak, maka pelakunya terancam siksa).

Pandangan Islam tentang merokok serta dalam kategori apa ia ditempatkan dari kelima tingkatan hukum di atas, ditentukan oleh sifat rokok serta dampak-dampaknya bagi kelima tujuan pokok agama. Sebagian ulama cenderung menilai rokok sebagai sesuatu yang mubah. Ini disebabkan mereka tidak atau belum mengetahui dampak negatif dari rokok. Dalam hal ini, mereka berpegang pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh ad-Daruquthni dan Abu Nu'aim bahwa Nabi SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban, maka jangan abaikan kewajiban itu. Dan menetapkan batas-batas, maka jangan melampuinya. Serta mengharamkan hal-hal, maka jangan mendekatinya, dan meninggalkan (tidak menyebut) hal-hal, bukan karena lupa, karena itu jangan kamu membahasnya."

Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits serupa, tetapi redaksi akhirnya adalah: Dan ada pula hal-hal yang didiamkannya -bukan karena lupa- melainkan karena kasih sayang-Nya, yang demikian adalah hal-hal yang dibolehkan-Nya.

Ulama-ulama kontemporer banyak merujuk kepada para pakar untuk mengetahui unsur-unsur rokok, serta dampaknya terhadap manusia. Atas dasar informasi itu, mereka lalu menetapkan hukumnya.

Imam terbesar al-Azhar Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut, menilai pendapat yang menyatakan bahwa merokok adalah makruh, bahkan haram, lebih dekat kepada kebenaran dan lebih kuat argumentasinya. Ada tiga alasan pokok yang dijadikan pegangan untuk ketetapan hukum ini. Pertama, sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Ummi Salamah, "Terlaranglah segala sesuatu yang memabukkan dan melemaskan atau menurunkan semangat."

Seperti diketahui, seorang perokok akan kecanduan dengan rokok, yang terlihat dengan jelas saat dia tidak memilikinya.

Kedua, merokok dinilai oleh banyak ulama sebagai salah satu bentuk pemborosan. Hal ini bukan hanya oleh orang per orang yang membeli sebatang dua batang, melainkan justru oleh pabrik-pabrik rokok yang mengeluarkan biaya tidak kecil untuk mempropagandakan sesuatu yang tidak bermanfaat, kalau enggan berkata membahayakan. Juga pada biaya pengobatan bagi mereka yang menderita sekian banyak penyakit akibat rokok. Agama melarang segala bentuk pemborosan. Jangankan dalam hal yang buruk, atau tidak bermanfaat, dalam hal yang baik pun dilarangnya, "Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam pemborosan," demikian sabda Nabi SAW.

Ketiga, dari segi dampaknya terhadap kesehatan. Mayoritas dokter, bahkan negara, telah mengakui dampak buruk ini, sehingga seandainya tidak ada teks keagamaan (ayat atau hadits) yang pasti menyangkut larangan merokok, maka dari segi maqaashid asy-syari'ah sudah cukup sebagai argumentasi larangannya.

Tiga dasar pemikiran di atas mengantarkan banyak ulama kontemporer kepada kesimpulan haramnya -atau paling tidak makruhnya- merokok. Saya cenderung untuk memperketat larangan ini.

Merokok di masjid terlarang karena aromanya dapat menganggu orang lain, apalagi bila diakui bahwa perokok pasif pun dapat terganggu. Larangan ini dianalogikan dengan sabda Nabi SAW, "Siapa yang memakan bawang putih atau merah, hendaklah dia menjauhi kami -atau menjauhi masji kami."

Kalau bawang -yang secara jelas tidak haram, bahkan dalam hal-hal tertentu boleh jadi membawa dampak positif bagi kesehatan- terlarang pemakannya untuk mendekati masjid (karena masjid adalah tempat umum), maka adalah lebih wajar jika yang merokok pun dilarang untuk mendekati tempat-tempat umum. Terlepas apakah ia menganggu kesehatan atau tidak.

Sementara ulama memfatwakan bahwa perokok, walaupun belum kecanduan, tidak dibenarkan menjadi imam dalam shalat, dan kalaupun ia menjadi imam, shalat orang-orang yang mengikutinya menjadi tidak sah. Demikian tulis Ahmad al-Mubarak al-Huraibi, dalam bukunya, Atsar al-Mukhaddaraat wa al-Musakkiraat wa at-Tadkhiin fii ash-Shihhah wa ad-Diin (hlm. 37 dan 48). Wallahua'lam.


Disadur dari buku:
M. Quraish Shihab Menjawab...
1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari sahabat, dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yang menyia-nyiakan sahabat yang telah dicari. -Imam Ali bin Abi Thalib
My Great Web page